Pemprov Riau Tetap Akan Terapkan Regulasi Gambut

Line Pekanbaru - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut diterbitkan melalui kajian panjang. Walau menimbulkan pro kontra, namun Pemprov Riau akan mencari solusi dalam penerapannya.
Demikian dikatakan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, Yulwiriati Moesa, dalam Workshop Gambut yang ditaja Universitas Riau di Pekanbaru, Rabu (3/5). Katanya, pengkajian PP itu juga mempertimbangkan kepentingan masyarakat banyak.
"Aturan tersebut sudah ada pengkajian yang panjang sebelumnya. Juga sudah dilakukan pertimbangan untuk kepentingan orang banyak," ujar Moesa.
Moesa menegaskan Pemprov Riau akan tetap memberlakukan PP itu. Di antaranya, penerapan batas muka air minimal 40 cm dan penerapan kawasan fungsi lindung minimal 30 persen dari luas kawasan konsesi di gambut.
Jika aturan itu tidak dijalankan, sambung Moesa, maka yang paling diuntungkan adalah perusahaan besar. Sedangkan masyarakat terkena imbas dari kerusakan lingkungan yang terjadi. "Aturan itu untuk melindungi masyarakat, sehingga baik korporasi maupun masyarakat memiliki hak yang sama atas lahan gambut," paparnya.
Diakuinya, hampir setengah luas Provinsi Riau adalah lahan gambut. Karena itu, penerapan PP Nomor 57 Tahun 2015 bakal berdampak luas kepada perusahaan Hutan Tanaman Industri dan perkebunan.
"Pada prinsipnya kita tidak ingin merugikan korporasi. Kita akan cari solusi lain, seperti peningkatan teknologi dan hilirisasi," terang Moesa.
Sementara itu, Almasdi Syahza, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unversitas Riau, mengatakan penerapan aturan itu bisa berdampak baik atau buruk, tergantung pada teknis pelaksanaannya. "Jangan sampai dalam implementasi nanti masyarakat kecil justru jadi korban," katanya.
Karena itu, Almasdi mendesak pemerintah segera menerbitkan aturan teknis sehingga kerugian dalam penerapannya dapat dikurangi. Dia berharap aturan teknis itu menjadi solusi yang tidak berdampak besar bagi korporasi dan masyarakat.
Sedangkan Bambang Widyantoro, Ketua Bidang Sosial dan Lingkungan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), menilai PP Nomor 57 Tahun 2016 telah menimbulkan ketidakpastian usaha bagi industri hasil hutan. "Pengusaha tentu ingin ada kepastian hukum, kepastian investasi, dan keamanan usaha. Tetapi, PP 57/2016 membuat semuanya menjadi tidak pasti," katanya. (mr/ris)
Komentar Via Facebook :