Petinggi SKK Migas Ini Tak Berani Menjawab Soal Kuasa Jual MMKBN ke KKKS, CERI; Akan Kita Gugat

Petinggi SKK Migas Ini Tak Berani Menjawab Soal Kuasa Jual MMKBN ke KKKS, CERI; Akan Kita Gugat

Bandung - Kepala Divisi Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Nayendra Sidik atau yang dikenal dengan panggilan Nala, dikonfirmasi terkait akan digugat karena kebijakan SKK Migas yang telah memberikan kuasa jual Minyak Mentah dan Kondensat Bagian Negara (MMKBN) kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan skema Election Not To Take in Kind, tak berani menjawab.

Aturan itu dikatakan Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman, akibat lifting atau produksi minyak nasional anjlok terus dan saat ini produksinya hanya di bawah 600.000 barel perhari, sementara untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional setiap harinya Pertamina harus menyiapkan sekitar 1,5 juta barel, sehingga Pertamina saat ini terpaksa harus mengimpor 1 juta barel dalam bentuk minyak mentah dan BBM. 

Terkait kebijakan kebijakan SKK Migas ini Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Pusat, Kurnia Chairi, SE.Ak.,MSc, dikonfirmasi juga bungkam.

Impor ini kata Yusri tentu akan memberikan tekanan bagi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan neraca transaksi berjalan Pemerintah.

"Apalagi, akan beroperasinya RDMP Balikpapan pertengahan tahun 2025 ini tentunya akan semakin meningkatkan kebutuhan impor minyak mentah daripada saat ini, hal ini harus diantisipasi oleh Pemerintah sejak dini" ungkap Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman, Selasa (28/1/2025) di Bandung.

Dikatakan Yusri, problem tersebut semakin diperparah oleh kebijakan SKK Migas yang telah memberikan kuasa jual Minyak Mentah dan Kondensat Bagian Negara (MMKBN) kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan skema Election Not To Take in Kind, sebagaima diatur pada Pedoman Tata Kerja Nomor : PTK-065 SKKMA0000/2017/SO yang pada 1 November 2017 ditanda tangani oleh Amien Sunaryadi selaku Kepala SKK Migas saat itu.

Dijelaskan Yusri, landasan hukum PTK 065/2017  tersebut lemah dan tak berakar terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2017, terkesan digatok gatoke aja. Setelah terbitnya Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang telah direvisi menjadi Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2021 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi dan Kondensat Untuk Kebutuhan Dalam Negeri, PTK 065/2017 itupun tak pernah direvisi untuk kepastian pasokan kilang Pertamina dari produksi minyak mentah dalam negeri.

"Sependek pemahaman dan temuan kami, PTK 065/2017 itu rawan disalahgunakan untuk kepentingan pemburu rente, bahkan ada KKKS tidak pernah melakukan tender dalam menjual kondensat bagian negara setidak tidaknya lima tahun terakhir berpotensi merugikan negara, dugaan kongkalikong ini sudah kami laporkan resmi ke KPK dan Kejaksaan Agung sejak Juni 2024," ungkap Yusri. 

Padahal, lanjut Yusri, dari setiap barel produksi minyak mentah dan kondensat yang dikelola oleh KKKS asing, swasta nasional dan Pertamina Hulu Energi serta BUMD, baik dengan skema gross split atau skema cost recovery, terdapat minyak bagian negara yang dikenal dengan istilah Goverment Oil Intake (GOI). 

Selain itu, tambah Yusri, jika merujuk UU Migas, ada kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) KKKS sebesar 25 persen dari total produksinya untuk kebutuhan kilang Pertamina.

"Sayangnya, akibat penerapan formula harga Indonesian Crude Price (ICP) + Premium yang ditawarkan oleh KKKS ke Pertamina menjadi tak ekonomis, mengakibatkan banyak minyak bagian negara dan DMO telah diekspor, ironisnya kembali diimpor oleh Pertamina Patra Niaga dalam bentuk BBM. Ini adalah fakta," beber Yusri. 

Harusnya, kata Yusri, Pemerintah hadir untuk menekan PT Kilang Pertamina Internasional untuk mengurangi impor minyak mentah, sehingga harus ada kebijakan Menteri Keuangan bahwa minyak mentah bagian negara dan DMO dijual ke KPI dengan formula ICP + flat, jika harga ICP discount tentu lebih.

"Pemerintah bisa memotong pendapatannya di hulu agar kebijakan harga ICP + flat tanpa merugikan KKKS, seperti yang sudah dilakukan Pemerintah terhadap harga jual gas HGBT pada 7 Industri dengan USD 6 per MMBTU. "Ironisnya soal kebijakan ini Kilang Pertamina malah belum mendapatkan HGBT", heran Yusri.

Jadi, tidak ada alasan bagi KKKS terpaksa menjual minyak bagian negara DMO untuk diekspor hanya karena Pertamina menolak harga ICP + Premium," ulas Yusri. 

Menurut Yusri, pemerintah bisa meningkatkan penerimaan negara dari upaya serius meningkatkan lifting nasional bukan dari premium jual MMKBN, sebab harga MNKBN dan nilai tukar sebagai pembentuk harga BBM itu menyangkut hajat hidup rakyat banyak.

Oleh sebab itu, kata Yusri, CERI akan segera menunjuk tim hukum untuk mempersiapkan gugatan terhadap produk aturan SKK Migas soal Pedoman Tata Kerja 065 Tahun 2017 untuk kemandirian energi sesuai Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.**


Komentar Via Facebook :