Kepulauan Meranti Harusnya Masuk Free Trade Zone

Kepulauan Meranti Harusnya Masuk Free Trade Zone

Strategi pembangunan Kabupaten Kepulauan Meranti sejatinya tidak boleh terpisah dari pembangunan dua kawasan perdagangan bebas atau Free Trade Zone (FTZ) yang mengapitnya, yakni; Dumai di Provinsi Riau dan Kepulauan Karimun di Provinsi Kepulauan Riau. Artinya, Kepulauan Meranti merupakan bagian tidak terpisah dari kedua kawasan itu.

Pemisahan Kepulauan Meranti dari kedua kawasan FTZ membuat kabupaten termuda di Provinsi Riau itu terisolir. Kabupaten ini hanya dilewati kapal-kapal dagang dari Kepulauan Riau menuju Dumai dan tidak bisa punya akses untuk memetik keuntungan dari perdagangan bebas itu sendiri.

Padahal Selatpanjang, sebagai ibukota Kepulauan Meranti, merupakan kota perdagangan yang sudah melegenda. Bahkan, kota di Pulau Tebingtinggi itu merupakan bandar perniagaan utama Kesultanan Siak. Semua aktivitas perdagangan internasional di kawasan Riau kala itu terpusat di Selatpanjang.

Kebutuhan pokok masyarakat Meranti juga dipasok melalui perdagangan dengan kawasan-kawasan lain. Seperti halnya kota-kota besar di Provinsi Kepulauan Riau, yakni; Batam, Tanjungpinang, dan Tanjung Balai Karimun, maupun Dabo Singkep.

Dalam periode itu, perekonomian masyarakat Meranti berjalan normal. Nyaris tidak pernah ada kelangkaan kebutuhan pokok. Semua kebutuhan pokok dapat dengan mudah diperoleh dan harganya pun terjangkau. Sebagian besar pasokan kebutuhan pokok itu didapat dari Tanjungbalai Karimun. Jarak kedua kota ini cukup dekat, hanya beberapa jam berlayar.

Tetapi setelah Kepulauan Meranti dimekarkan sebagai daerah otonom baru yang terpisah dari Kabupaten Bengkalis, 16 Januari 2009, terbit kebijakan pemerintah yang melarang pedagang asal Kepulauan Meranti berbelanja barang ke Tanjung Balai Karimun. Dampak larangan itu memukul perekonomian Kepulauan Meranti.

Pedagang asal Meranti terpaksa mendatangkan pasokan kebutuhan pokok dari daerah di luar Kepulauan Riau, seperti Palembang bahkan hingga ke Jawa. Tentu saja biaya yang dikeluarkan pedagang cukup tinggi. Ditambah lagi antre saat loading barang di pelabuhan yang bisa berminggu-minggu.

Dengan demikian, pedagang mau tak mau harus menaikkan harga barang ketika dilempar ke pasaran. Ini membuat masyarakat Meranti menjerit. Daya beli terus turun. Kabupaten Meranti selalu di puncak daftar daerah-daerah inflasi tertinggi di Provinsi Riau.

Sebagai perbandingan saja, ketika kebutuhan pokok masih didapat dari Kepulauan Karimun, harga-harga sangat terjangkau. Contohnya, gula pasir dijual seharga Rp8.000 sampai Rp9.000 per Kg. Tapi setelah didatangkan dari Pulau Jawa, harganya naik menjadi Rp12.000 hingga Rp.14.000 per Kg, bahkan terkadang tembus hingga Rp17.000 per Kg.

Demikian juga dengan bawang merah, dari Rp14.000 hingga Rp18.000 per Kg dulunya, kini menjadi Rp33.000 sampai Rp40.000 per Kg. Hal serupa juga terjadi pada komoditas cabai, beras, minyak goreng, tepung, dan lainnya.

Di sisi lain, kebijakan pemangkasan anggaran yang kerap dilakukan pemerintah pusat membuat perekonomian Meranti secara makro makin terpuruk. Anggaran pemerintah daerah yang diharapkan menjadi menopang perputaran perekonomian masyarakat, tiap tahun semakin kecil.

Tak cukup itu saja. Penderitaan masyarakat Meranti semakin berat ketika pemerintah menghapus penghapusan subsidi listrik beberapa bulan terakhir. Masyarakat kelas menengah ke bawah semakin terpuruk. Mereka harus mengeluarkan biaya ekstra agar tetap menikmati penerangan listrik di malam hari.

Semua kebijakan itu seolah membuat masyarakat Kepulauan Meranti tidak berdaya. Tingkat kemiskinan semakin tinggi. Saat ini, angka kemiskinan Kabupaten Kepulauan Meranti mencapai 34 persen, tertinggi di Provinsi Riau.

Meranti bahkan menjadi salah satu daerah terbelakang di nusantara. Sangat kontras bila dibandingkan dua daerah tetangganya, Kota Dumai dan Kapubaten Kepulauan Karimun, yang tetap menikmati perdagangan bebas karena ditetapkan pemerintah sebagai kawasan FTZ.

Implementasi Nawacita

Sebagai daerah otonom baru di Riau, Meranti seharusnya mendapat dukungan penuh dari pemerintah untuk bertumbuh. Namun, pelarangan perdagangan bebas di Meranti telah mengkebiri perekonomian masyarakat di kepulauan itu. Berbagai kebijakan pemerintah seolah menganaktirikan Meranti.

Sejatinya, Meranti yang terletak di pesisir utara Sumatera sangat strategis dan layak dijadikan lokpri (lokasi prioritas) untuk dijadikan kawasan perdagangan bebas. Di sinilah peran pemerintah pusat mengimplementasikan Nawacita yang didengungkan Presiden Joko Widodo.

Tujuh puluh dua tahun Indonesia sudah kemerdekaan. Tapi kondisi masyarakat Meranti masih ketertinggalannya. Mulai dari infrastruktur dasar, fasilitas umum, dan lainnya. Demikian juga persoalan transportasi hingga saat ini masih mengandalkan trasportasi angkutan laut yang lamban dan mahal.

Masyarakat Meranti masih belum menikmati arti sesungguhnya kemerdekaan itu. Untuk itu, program nawacita hendaknya tidak lagi sebatas retorika harus diwujudnyatakan bagi kehidupan masyarakat.

Minimnya perhatian Pemerintah Provinsi Riau turut memaksa masyarakat Meranti menjalin hubungan keakraban dengan penduduk negara jiran, Malaysia dam Singapura. Sebab tidak bisa dipungkiri, sebagian masyarakat Meranti masih menggantungkan masa depannya terhadap dengan negara tetangga tersebut.

Untuk itu, masyarakat Meranti terpaksa harus hilir mudik ke negara tetangga Singapura maupun Malaysia secara berkesinambungan. Karena itu pula muncul anekdot semboyan yang tidak resmi di tengah masyarakat Meranti mengatakan, “Garuda memang di dadaku, tapi Ringgit dan Dollar mengisi perutku”.

Itu artinya keberadaan garuda di kehidupan masyarakat Meranti selama ini hanya terkesan slogan belaka karena himpitan ekonomi itu. Hingga saat ini masih berjubel masyarakat Meranti terpaksa mengandalkan ringgit dari seberang untuk menghidupi keluarganya.

Berkah Otonomi

Terkait terhentinya kran barang sembako dari kabupaten tetangga yakni Tanjung Balai Karimun, disikapi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti dengan membuka lahan pertanian tanaman padi. Walaupun dengan pola pertanian tadah hujan, namun saat ini pertambahan produksi beras di Meranti dari hasil cetak sawah baru tersebut telah dinikmati masyarakat.

Hal ini ke depan semakin mengurangi ketergantungan Meranti terhadap pasokan beras dari luar daerah. Hingga tahun 2016 luas tanaman padi di Kepulauan Meranti sudah mencapai jumlah 4.000-an Ha lebih.

Sementara program cetak sawah baru tersebut masih akan terus ditingkatkan dari tahun ketahun. Walaupun kebijakan rasionalisasi anggaran atau istilah kasarnya adanya pengurangan anggaran dari pusat itu terjadi, namun upaya pembangunan pembukaan sawah baru itu senantiasa dilakukan demi terwujudnya peningkatan produksi gabah di Meranti.

Pada tahun 2017 ini juga akan dibuka kembali lahan pertanian tanaman padi seluas 400 Ha di 12 desa. Sehingga pada saatnya nanti kebutuhan beras bagi masyarakat Meranti tidak lagi bergantung pada pasokan dari  luar daerah. Program ini terwujud setelah Meranti menjadi daerah otonomi baru, yang tentu sudah mampu mengatur dan mengelola potensi alam yang ada, demi ketersediaan bahan pangan masyarakat.

Namun alam Meranti yang tidak memiliki bahan galian C, untuk bahan material pembangunan fisik tersebut, masih akan tetap mengandalkan pasokan material dari daerah lain. Seperti untuk kebutuhan tanah uruk, tanah timbun, tanah sertu, pasir maupun berbagai jenis bebatuan lainnya dalam rangka pelaksanaan konstruksi bangunan.

Hal ini juga menjadi persoalan yang tidak mudah diatasi. Terutama kalau selama ini juga berbagai bahan material itu didatangkan dari Tanjung Balai Karimun, dan lagi-lagi hal itupun turut distop. Dengan distopnya bahan material dari Karimun itu telah membebani anggaran pembangunan yang justru lebih besar lagi. Sebab dengan mendatangkan material dari Pekanbaru sudah barang tentu semakin jauh dan berdampak pada besarnya biaya.

Sehingga untuk menentukan besaran anggaran biaya untuk membangun sesuatu pekerjaan fisik di Meranti harus dihitung minimal 2 kali lipat dari anggaran normal selama ini. Ini juga salah satu faktor penghambat lajunya pelaksanaan pembangunan infrastruktur dasar di Kepulauan  Meranti. Walau saat ini seluruh jalan-jalan protokol dalam kota dan juga di luar kota saat ini sedang giat-giatnya dilakukan melalui anggaran APBN.

Namun jalan di desa dan juga antar desa maupun jalan penghubung antar kecamatan ke kecamatan sejauh ini masih belum bisa berbuat banyak. Untuk itulah semua persoalan mendasar tersebut dibutuhkan kebijakan strategis dari pemerintah pusat. Kebijakan yang harus berpihak pada kebutuhan dan kepentingan serta masa depan masyarakat Kepulauan Meranti itu.

Jika tetap memberikan anggaran pembangunan untuk infrastruktur terhadap Meranti mengacu pada pola sama rata dengan daerah lain, maka dipastikan pertumbuhan atau percepatan pembangunan di Meranti akan tetap lamban. Sangat diharapkan dalam penentuan kebijakan besaran anggaran yang akan diberikan ke daerah, harus mengacu pada pola proporsional. Artinya tidak disama ratakan daerah tertinggal dengan daerah  yang sudah lama maju.

Dengan demikian pelaksanaan berbagai bentuk pembangunan dalam rangka mengejar ketertinggalan di Kepulauan Meranti itu akan bisa terwujud dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. (Nasruni, Kabag Humas Pemkab Meranti)


Komentar Via Facebook :