Jikalahari Tolak RTRW Riau Disahkan

Line Pekanbaru - Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menolak Ranperda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Riau disahkan. Pasalnya, draf itu tidak mematuhi produk hukum terkini, bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam perlindungan lahan gambut, serta mengancam kehidupan masyarakat adat dan tempatan.
Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah, ada 10 masalah jika RTRW Riau 2016-2035 disahkan DPRD Riau pekan depan. Pertama, Perda RTRW itu akan dijadikan alat oleh perusahaan HTI untuk mengkriminalisasikan masyarakat adat dan masyarakat tempatan yang berkonflik dengan perusahaan itu.
Kedua, proses pembahasannya tidak transparan dan tidak melibatkan publik yang terdampak. "Sehingga hanya mengguntungkan segelintir elit, birokrasi, dan korporasi," terang Woro dalam jumpa pers di Pekanbaru, Jumat (4/8) malam.
Woro mengingatkan tertangkapnya Annas Maamun merupakan bukti jika proses pembahasan RTRW Riau tidak transparan dan cenderung koruptif. "Padahal, undang-undang penataan ruang memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat mulai dari perencanaan, pemanfaatkan, hingga pengendalian," katanya.
Ketiga, RTRW harus bertujuan pemerataan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan serta mendukung program reformasi agraria. Dia mengingatkan berdasarkan Putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011 disebutkan jika hutan adat bukan hutan negara.
Keempat, draf RTRW Riau tidak mengakomodir perubahan kebijakan baru pemerintah berkaitan review perizinan, perubahan fungsi pengelolaan hutan serta penetapan kawasan lindung dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kelima, tidak mengakomodir kawasan lindung gambut. Dalam draft RTRW Riau disebutkan Kawasan Lindung Kubah Gambut (KLG) hanya 1.693.030 hektar. Padahal SK MenLHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017 menyebut luas ekosistem gambut di Riau 5.040.735 ha yang terbagi pada fungsi lindung 2.473.383 ha dan 2.567.352 ha untuk fungsi budidaya.
Artinya, lanjut Woro, sebanyak 2,4 juta ha kawasan lindung gambut harus masuk dalam RTRW Riau. "Jika tidak, maka kegiatan restorasi gambut bekas terbakar tidak dapat dilaksanakan Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Tim Restorasi Gambut Provinsi Riau," kata Woro.
Baca Juga : Pemprov Riau Berupaya Turunkan Silpa
Keenam, RTRW Riau lebih mementingkan korporasi dari pada masyarakat. Dari 9 juta Ha luas kawasan Riau, 65 persen lebih dikuasai korporasi HTI, sawit dan tambang. "Akibatnya, masyarakat adat dan tempatan tidak memiliki tempat untuk hidup dan mengelola lahan," terang Woro.
Ketujuh, tidak menjalankan GNPSDA KPK. Seharusnya Pemda Riau menjalankan 19 Renaksi Pemda yang disetujui bersama KPK sebagai bagian penyelesaian persoalan kehutanan di Riau dengan 6 fokus utama yaitu penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administrasi, penataan perizinan kehutanan dan perkebunan, perluasan wilayah kelola masyarakat, penyelesaian konflik kawasan hutan, penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan, dan membangun sistem pengendalian anti korupsi.
Kedelapan, RTRWP tidak disusun berdasarkan KLHS. KLHS berfungsi menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat. Setiap perencanaan tata ruang dan wilayah, wajib didasarkan pada KLHS (Pasal 19 UU 32 tahun 2009 tentang PPLH). Namun Riau belum memiliki KLHS dalam menyusun Draft RTRWP.
Kesembilan, RTRWP tidak mengakomodir temuan Pansus DPRD Bengkalis. Pansus monitoring dan identifikasi sengketa lahan kehutanan DPRD Bengkalis merekomendasikan agar Menteri LHK mencabut atau merevisi SK No 314/MenLHK/2016 tentang Peruntukan Perubahan Kawasan Hutan Riau, karena banyak desa tua serta lahan penghidupan masyarakat berada dalam kawasan konsesi perusahaan.
"Perusahaan itu adalah PT Rimba Rokan Lestari, PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Sekato Pratama Makmur, PT Balai Kayang Mandari, PT Rimba Mandau Lestari, PT Riau Abadi Lestari (HTI), PT Sinar Sawit Sejahtera, PT Sarpindo Graha Sawit Tani, PT Murini Samsam dan PT Murini Wood (Sawit). Perkembangan mutakhir ini belum pernah dibahas oleh Gubernur Riau dan DPRD Riau untuk memasukkan dalam draft RTRWP Riau," jelas Woro
Terakhir, ungkap Woro, RTRWP ini melegalkan praktik perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan. Pada 2015 Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, Izin Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan, Industri dan Lingkungan dalam Upaya Memaksimalakan Penerimaan Pajak Serta Penertiban Perizinan dan Wajib Pajak DPRD Provinsi Riau menemukan 2,4 juta kawasan hutan di Riau dirambah oleh korporasi, cukong dan masyarakat. **
Komentar Via Facebook :