Kasus e-KTP Semakin Seru

Golkar dan ICW Masalah Kasus Setia Novanto Bersebrangan

Golkar dan ICW Masalah Kasus Setia Novanto Bersebrangan

Line Jakarta - Atas putusan hakim tunggal Cepi Iskandar di Pengadilan Negri Jakarta Selatan terkait kasus dugaan mega korupsi e-KTP dengan tersangka Setya Novanto (SN) yang memenagkan gugatan SN, KPK dalam ciutannya di Twitter kecewa.

Kini ketua Umum Partai Golkar yang juga menjabat Ketua DPR RI, Setya Novanto, telah terbebas dari status tersangka yang disandangnya dari KPK terkait.

Walu demikian institusi KPK menghormati keputusan Institsi peradilan dan pelaksanaan tugas sesuai hukum yang berlaku itu.

Seperti dikutip dari media sosial Twitter, @golkarpedia, ada tujuh alasan yang membuat Setya Novanto tidak bersalah.

1. Status tersangka tidak sah karena bukan hasil penyelidikan tapi atas permintaan Jaksa berdasar perkembangan sidang.

2. Dalam putusan Hakim atas Irman dan Sugiharto, nama Setya Novanto tidak disebut sebagai salah satu pelaku korupsi.

3. Pemberian Fee kepada beberapa Anggota DPR sebesar Rp574 miliar bukan atas persetujuan Setya Novanto.

4. Tidak ada kerugian negara karena belum dihitung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

5. Penyelidik KPK tidak sah menurut Undang-Undang karena bukan dari Kepolisian atau Kejaksaan.

6. Kontrak antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Konsorsium Percetakan Negara bukan kontrak yang dibuat secara melawan hukum.

7. Andi Narogong bukan penyelenggara negara, meski Setya Novanto membantunya, itu bukan Delik Hukum.

Sementara itu Peneliti Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch ( ICW), Lalola Easter, mengaku tak heran dengan putusan hakim pada sidang praperadilan Ketua DPR RI Setya Novanto yang mengabulkan gugatan Novanto.

"Sesuai perkiraan, praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto dikabulkan oleh hakim tunggal Cepi Iskandar," kata Lalola dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/9/2017).

Menurut dia, perkiraan tersebut bukan tanpa dasar. Sepanjang proses sidang praperadilan Novanto, pihaknya mencatat ada enam kejanggalan yang dilakukan hakim.

Pertama hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Novanto dalam korupsi R-KTP. Kedua hakim menunda mendengar keterangan ahli dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hakim juga menolak eksepsi KPK dan mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara.

Kejanggalan kelima dan keenam yaitu, hakim bertanya kepada ahli KPK tentang sifat ad hoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan, serta tentang laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus Angket dijadikan bukti Praperadilan.

"Keenam kejanggalan tersebut adalah penanda awal akan adanya kemungkinan permohonan praperadilan SN (Setya Novanto) akan dikabulkan oleh hakim sebelum diputuskan," kata Lalola.

Lalola menambahkan, salah satu dalil hakim yang paling kontroversial dalam putusan praperadilan itu adalah bahwa alat bukti untuk tersangka sebelumnya tidak bisa dipakai lagi untuk menetapkan tersangka lain.

Menurut Lalola, itu artinya mendelegitimasi putusan Majelis Hakim yang memutus perkara E-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, yang notabene sudah berkekuatan hukum tetap.

"Padahal, putusan dikeluarkan berdasarkan minimal dua alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim, dan skema tersebut merupakan hal yang biasa dalam proses beracara di persidangan," kata dia.**


Komentar Via Facebook :