Moratorium Lahan Gambut di Riau Dinilai Tebang Pilih

Line Riau - Perpanjangan Instruksi Presiden mengenai moratorium perizinan hutan dan lahan gambut yang telah berjalan sejak 2013 lalu nyatanya tidak mengurangi jumlah pemberian izin baru pelepasan konversi lahan hutan.
Banyak kalangan menilai Surat Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No. S.1254/MENLHK-SETJEN/ROUM/HPL.1/10/2017 tanggal 6 Oktober 2017 kepada PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) telah membuat ribuan kontaktor RAPP resah, dinilai tebang pilih.
Baca Juga : Ops Bina kusuma Siak 2017 Sebar Spanduk Pekat
"Keputusan i ni saya nilai tebang pilih psalnya banyak perusahaan sawit di Riau yang menanami gambut tidak terdengar di berikan surat yang sama, jika dibandingkan HTI gambut sawit kering kerontang yang menyebabkan kebakaran lahan puncanya dari lahan sawit tersebut," jelas Tokoh masyarakat Riau, Abdul Djalal, Minggu (15/10/17).
Apalagi kalu diberlakukan ini dengan berat sebelah tentunya perusahaan HTI yang mempekerjakan puluhan ribu karyawanya itu bakal pengangguran," jelasnya.
Diharapkannya menteri LHK mempertimbangkan hal ini, walau banyak kalangan yang mengatakan RAPP tidak memiliki kepatuhan terhadap aturan pemerintah khususnya Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, dinilai berat sebelah, apalagi saat ini warga dan pedagang mulai resah karena kebijakan ini.
Hal ini juga senada yang diungkapkan Direktur Program of Sustainable Development Governance Kemitraan Partnership, Dewi Rizki yang mengatakan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan, dan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan masih dilakukan secara masif oleh pemerintah.
Dari hasil analisis yang dilakukan oleh Walhi dan Kemitraan Partnership terkait kebijakan penundaan pemberian izin baru tata kelola hutan dan lahan gambut selama tahun 2007 hingga tahun 2013, perluasan meluas menjadi sekitar 12 juta hektare lahan lebih, sementara lahan sawit tidak diperhatikan.
Selain itu, sektor perkebunan tebu dan bisnis padi skala besar turut mendorong terjadinya deforestasi. Kelemahan utama moratorium hutan ini, menurut Dewi terletak pada kurangnya integrasi peta moratorium lahan di daerah-daerah ke dalam peta tata ruang pemerintah pusat.
Saat ini proses perencanaan tata ruang di daerah marak ditunggangi oleh pengusaha untuk mengubah kawasan hutan menjadi areal pakai industri perkebunan dan tambang dengan mengusulkan review kawasan hutan.
Menurutnya, pemerintah harus melakukan evaluasi dan penegakan hukum terhadap praktik penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan dalam proses pemberian izin konsesi pada lahan sawit.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memastikan kebijakan tunda sementara (moratorium) izin hutan primer dan lahan gambut yang sudah rilis sejak Mei 2011 bakal lanjut dua tahun kedepan.
Kelanjutan ini guna mempersiapkan langkah lanjutkan tata kelola lahan di wilayah moratorium yang ternyata banyak tak berhutan karena lahan sawit.
Kini, pemerintah menyiapkan beragam aturan untuk melancarkan tata kelola lahan itu lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Pada Areal Penundaan Pemberian Izin Baru.
Lahan-lahan yang terlindungi moratorium ternyata sudah jadi beragam fungsi alias tak berhutan lagi atau jadi kebun tanaman ini, kemungkinan buat tanah untuk rakyat (Tora), perhutanan sosial, atau bahkan penegakan hukum.
Sementara itu Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dalam menerbitkan izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di 2011. Izin HTI baru bisa terbit setelah keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) tentang Moratorium Pemanfaatan Kawasan Hutan Primer dan Lahan Gambut.**
Komentar Via Facebook :