10 Kepala Daerah Tersandung Korupsi Sepanjang 2017

Line Jakarta - Sepanjang tahun 2017, sebanyak 10 kepala daerah terjerat kasus korupsi . Sebagian besar mereka terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari berbagai kasus tersebut, miliaran rupiah negara telah berhasil diselamatkan KPK.
Dimulai dari awal tahun 2017, KPK menangkap Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun dalam kasus suap mantan Ketua MK Akil Mochtar. Dia ditangkap saat turun dari pesawat di Bandara Soekarno Hatta, 25 Januari 2017. Penangkapan Samsu setelah berulangkali mangkir dari pemeriksaan dan dia kalah praperadilan.
Dalam kasus ini, Samsu mengaku pernah memberi uang Rp1 miliar kepada Akil melalui CV Ratu Samagat, yang diketahui perusahaan istri istri Akil tahun 2012. Pemberian uang itu sebagai bentuk suap atas sengketa Pilkada Buton yang bergulir di MK.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta akhirnya memvonis Samsu dengan kem 3 tahun 9 bulan penjara. Dia juga dituntut bayar denda Rp150 juta atau subsider 3 bulan kurungan penjara.
Di Bulan Juni, KPK menangkap dan menerapkan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan istrinya Lili Martiani Maddari sebagai tersangka penerima suap untuk pembangunan jalan.
KPK juga mengamankan pengusaha Rico Dian Sari (RDS), Direktur PT SMS Jhoni Wijaya (JHW), dan Haris (H). "Diduga penghargaan terkait biaya proyek yang dimenangkan PT SMS dari provinsi Bengkulu dari komitmen 10 persen per proyek yang harus diberikan ke Gubernur Bengkulu melalui penuh," ungkap pimpinan KPK Saut Situmorang saat itu.
Baca Juga : Jeruji Besi Menunggu Kadis PU Meranti, Hariyadi
Dari dua proyek yang dimenangkan PT SMS, Ridwan dijanjikan uang Rp4,7 miliar. PT SMS tunjangan pembangunan TES Muara Aman Kabupaten Rejang Lebong dengan nilai Rp37 miliar dan proyek pembangunan jalan curuk udara dingin Kabupaten Rejang Lebong dengan Rp.
Uang Terjual diterima istri Ridwan, Lili Martiani Maddari di kediamannya di kawasan Sidomulyo, Bengkulu. Rico Dian Sari yang juga tercatat sebagai Bendahara DPD Golkar Provinsi Bengkulu langsung ditangkap KPK setelah menyerahkan uang dalam kardus dengan nominal diperkirakan Rp1 miliar.
Penerimaan yang tersebut merupakan yang pertama dilakukan dari total komitmen yang disepakati. Setelah penangkapan Lili dan Rico, tim KPK mengamankan Ridwan.
BAGIAN YANG DITERBITKAN, Jhoni disangkakan ayat pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Sementara, sebagai pihak yang menerima, Rico, Lili dan Ridwan disangkakan pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Sampai akhir tahun, proses ini masih terus berjalan. Ridwan, Lili dan rico menjalani sidang perdana Bulan Oktober kemarin.
Sementara Jhoni selaku penyuap divonis 3 tahun 7 bulan penjara dan denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan. Vonis ini lebih rendah dari JPU KPK yaitu 4 tahun penjara.
Di Bulan Agustus, KPK menangkap Bupati Pamekasan Achmad Syafii Yasin, bersama Kepala Kejaksaan Negeri Rudi Indra Prasetya dan jumlah pejabat dalam kasus suap Rp250 juta pengusutan dugaan penyelewengan dana di Pamekasan, Madura.
Lima orang ditetapkan tersangka. Mereka adalah Achmad Syafii Yasin, Rudi Indra Prasetya, Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan Sucipto Utomo, Kepala Desa Dasuk Agus Mulyadi dan Kepala Bagian Administrasi Inspektorat Kabupaten Pamekasan Noer Solehhoddin.
Atas perbuatannya itu, Agus dan Sutjipto selaku penyuap disangkakan telah melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Penyantapan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Kasus ini pun masih berlaku hukum dan belum final.
Di akhir Agustus, KPK menangkap Wali Kota Tegal Siti Masitha dalam kasus suap pengelolaan dana kesehatan RSUD Kardinah dan pengadaan alat kesehatan. Selain Siti, KPK juga menetapkan tersangka untuk Amir, pihak swasta sekaligus orang kepercayaan Siti, dan wakil direktur utama RSUD Kardinah, Cahyo.
Saat OTT, KPK menyita uang tunai Rp300 juta di kantor bagian keuangan rumah sakit. Hasil dugaan sementara, Rp200 juta sudah mengalir ke dua rekening milik Amir.
Atas perbuatannya, Siti dan Amir selaku penerima disangkakan telah melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 undang undang-undang nomor 31 tahun 1999 jounnya pasal undang-undang nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara Cahyo selaku pemberi disangkakan. Pasal pasal 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 ayat (1) huruf a ke-1 KUHP.
Di bulan September, KPK menangkap dan menetapkan Bupati Batu Bara Ok Arya Zulkarnain sebagai tersangka dugaan menerima suap terkait pekerjaan pembangunan infrastruktur.
Arya dijanjikan fee 10 persen atau Rp 4,4 miliar dari total total proyek yang sedang dikerjakan, sedang pembangunan bangunan dengan nilai proyek Rp32 miliar dan jembatan sel Mangung dengan nilai Rp 12 miliar.
Akibat perbuatannya Arya disangka kan pasal 12 huruf a atau pasal 12 b atau pasal 11 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 dengan diubah Undang Undang nomor 20 nomor 21 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tidak berselang lama, KPK juga mennagkap dan menentukan Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko sebagai tersangka penerima suap proyek belanja modal dan pengadaan meubelair di Pemkot Batu tahun anggaran 2017.
Selain Eddy, Kepala Bagian Pelayanan dan Pengadaan (Kabag ULP) Pemkot Batu, Edi Setiawan juga ditetapkan jadi tersangka karena telah menerima uang dari seorang pengusaha Fhilipus Djap (FHL). Eddy menerima fee 10 persen dari proyek Rp,26 miliar. Proyek itu dimovasi PT Dailbana Prima (DP).
Eddy dan edi dijerat Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara itu, pengusaha Fhilip ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Dia Tertangkap Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Masih di Bulan September, KPK melakukan OTT dan menentukan Wali Kota Cilegon Iman Ariyadi sebagai tersangka penerima suap untuk memuluskan proses analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang menjadi syarat utama untuk izin pembangunan Transmart.
Selain Wali Kota Cilegon, KPK juga menetapkan lima tersangka lainnya. Termasuk pihak penyuap dan pejabat daerah yang terlibat. Mereka adalah ADP berstatus sebagai Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Cilegon. H adalah pihak swasta. Pemberi suap adalah TBU sebagai manajer proyek PT KIEC, TDS dari PT KIEC, EWD sebagai manajer manajer hukum PT KIEC.
Iman Ariyadi, ADP dan H selaku penerima suap disangkakan Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi telah diubah menjadi Undang Undang nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
TBU, TDS dan EWD aelaku pemberi suap disangkakan tergantung Pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 Undang Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi telah diubah menjadi Undang Undang nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Di pengujung Bukan September, KPK menangkap Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Ada dua kasus yang membuat Rita menjadi tersangka dengan nilai gratifikasi dan suap mencapai Rp12 miliar lebih.
Pertama dia menerima suap Rp 6 miliar dari Direktur Utama PT Sawit Golden Prima, Hery Susanto Gun (HSG). Rita menerima gratifikasi dari komisaris PT Media Bangun Bersama, KHR (Khairudin) sebesar 775 ribu USD atau setara Rp6,975 miliar.
Dalam kasus ini, KPK memperbaiki dua pasal mengenai pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 pemberian ganti UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk suap dan Pasal 12 B UU Tipikor untuk dugaan gratifikasi.
Sementara Hery Susanto Gun dijerat pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diubah dengan Undang-undang 20/2011.
Kemudian, komisaris PT Media Bangun Bersama, KHR (Khairudin) dijerat pasal 12 B UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diubah dengan Undang-undang 20/2011.
Di Bulan Oktober, KPK menetapkan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman sebagai tersangka penerimaan suap perekrutan aparatur sipil negara di Kabupaten Nganjuk tahun 2017.
Taufiq menerima uang dengan total Rp 298.020.000. Uang tersebut berasal dari Ibnu Hajar selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nganjuk sebesar Rp149.120.000, dan Suwandi sebagai Kepala Sekolah SMPN 3 Nganjuk, sebesar Rp148.900.000.
Uang tersebut, diperoleh Ibnu dan Suwandi dengan meminta uang ke jumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk kemudian disetorkan ke Taufiq.
KPK juga menentukan dua orang sebagai tersangka pemberi suap. Masalahnya adalah, Mokhammad Bisri sebagai Kabag umum RSUD Kabupaten Nganjuk, dan Harjanto sebagai Kados lingkungan hidup Kabupaten Nganjuk.
Bagi penerima suap, Taufiq, Suwandi, dan Ibnu Hajar disangkakan telah melanggar Pasal 12 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara pihak pemberi, Bisri dan Harjanto disangkakan tergantung. Pasal 20 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi nomor 31 tahun 1999 telah diubah dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penetapan tersangka oleh KPK terhadap Taufiq ini adalah kali kedua, setelah penetapan tersangka sebelumnya politisi PDIP tersebut menang gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada kasus sebelumnya, KPK menetapkan Taufiq sebagai tersangka penerimaan gratifikasi.
Taufiq disangkakan balik Pasal 12 huruf B Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Penyusunan Korupsi. Pasal ini mengatur tentang gratifikasi oleh penyelenggara negara dengan ancaman bagi pelaku yang terbukti pidana penjara paling singkat 4 tahun atau paling lama 20 tahun dengan pidana denda paling sedikit Rp200 juta atau paling banyak Rp 1 miliar.
Dia juga sempat terjerat kasus dalam pengadaan lima proyek dan pembangunan di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2009. Kelima proyek tersebut adalah pembangunan jembatan Kedunginas, proyek rehabilitasi saluran Melilir Nganjuk, perbaikan jalan Sukomoro sampai Kecubung, rehabilitasi saluran Ganggang Malang , dan proyek jalan Nagrek ke Blora di Kabupaten Nganjuk.
Pada kasus tersebut, Taufiq disangkakan tergantung. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.
Kemudian yang terakhir adalah keputusan tersangka kepada Wali Kota Mojokerto Masud Yunus. Dia menetapkan tersangka dalam kasus suap terkait perubahan APBD pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Pemerintahan Kota Mojokerto tahun anggaran 2017.
Masud Yunus Bersama-sama Kepala Dinas PU dan Penataan Ruang Mojokerto Wiwiet Febryanto memberikan sejumlah uang kepada anggota DPRD Kota Mojokerto.
Masud dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kasus ini, KPK juga telah menetapkan tersangka kepada Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Abdullah Fanani dan Umar Faruq.
Suap tersebut. Dijelaskannya Wiwiet terkait pengalihan anggaran dari anggaran hibah Politeknik Elektronik Negeri Surabaya (PENS) menjadi anggaran program penataan lingkungan pada Dinas PUPR Kota Mojokerto Tahun 2017 dengan biaya Rp13 miliar. (wan)
Sumber: merdeka.com
Komentar Via Facebook :