Pembelaan Advokat Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan

Pembelaan Advokat Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan

Yulianus Soni Kurniawan - Advokat dalam fungsinya sebagai pembela yang dilindungi oleh hukum sedangkan klien adalah warga negara yang dirugikan hak konstitusionalnya. Objek yang dibela adalah kepentingan hukum klien, sehingga tindakan advokat dalam kapasitas adalah pembela kepentingan hukum bukan pelaku kejahatan.

Keadaan demikian juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian, menetapkan tersangka seorang advokat yang sedang melakukan pembelaan kepentingan hukum klien merupakan bagian dari upaya pencampakan UU Advokat khususnya pasal 18 ayat 2 UU No. 18 Tahun 2003.

Tindakan tersebut juga telah merusak marwah advokat sebagai profesi yang mulia atau Officium Nobille karena telah menyamakan advokat dengan kliennya. Padahal, peran advokat di dalam dan diluar pengadilan telah memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional.

Dalam ruang pengadilan advokat berperan penting dalam membuka tirai demokrasi dengan memfasilitasi beberapa gugatan publik, untuk meminta pertanggungjawaban negara melalui ruang pengadilan yang dianggap gagal menjalankan kewajibannya sebut saja contoh kasusnya gugatan terhadap Pemprov DKI terkait Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor juncto Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 141 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor. Mahkamah Agung membatalkan Pergub tersebut melalui putusan perkara Nomor 57 P/HUM/2017 pada tanggal 21 November 2017. Sedangkan peran advokat di luar pengadilan contohnya mediasi, dll.

Kedua hak prosedural. Hak prosedural merupakan kewenangan relatif advokat untuk menggunakan cara-cara yang dibenarkan melakukan pembelaan klien. Hak ini didapat oleh advokat melalui pengumpulan bukti-bukti untuk mendapatkan informasi, dokumen atau data yang lainnya dari instansi pemerintahan yang bertujuan untuk mendukung kliennya, dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan (pasal 17 UU Advokat).

Dalam menjalankan hak-haknya tersebut, advokat sebagai penegak seharusnya diperlakukan setara dengan penegak hukum lainnya. Apabila KPK sebagai penegak hukum tidak dihukum karena cacat prosedural dalam pemenuhan bukti-bukti, maka advokat juga selayaknya diperlakukan setara supaya tidak dihukum karena cacat prosedur dalam mencari bukti-bukti yang mendukung kliennya.

Penegasan ini penting agar tidak ada diskriminasi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Upaya advokat untuk mencari bukti tandingan tidak dapat dianggap sebagai upaya yang merintangi penyidik. Bukankah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan hukum kliennya?

Apakah mengkualifikasi bukti yang digunakan oleh advokat dapat atau tidak dipakai dalam proses pengadilan merupakan tugas KPK? penegasan ini penting agar masing-masing penegak hukum dapat bekerja independen sehingga menghasilkan putusan pengadilan yang lebih objektif.

Apabila tindakan seperti ini semakin masif terjadi, maka implikasinya akan meluas ke penegak hukum lainnya termasuk KPK sendiri dalam penanganan perkara karena publik juga menduga KPK, dan penegak hukum lainnya seringkali salah prosedur dalam mengumpulkan bukti-bukti. Jika tidak diperlakukan sama antara advokat dengan penegak hukum lainnya, maka akan terjadi kriminalisasi profesi dan hak advokat termarjinalkan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, sebaiknya tindakan advokat yang diduga cacat prosedur dalam menjalankan tugas dan profesinya tidak dilakukan proses pidana. Tindakan tersebut masuk dalam kategori pelanggaran kode etik sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia yang menegaskan bahwa Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya. 

Jikalau pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia dikategorikan sebagai perbuatan pidana, maka akan ada banyak daftar kasus tunggu pelanggaran etik yang dapat dipidanakan. Selain itu, tindakan tersebut juga dapat merusak marwah penegak hukum di indonesia, karena cacat formalitas penegakan hukum sangat mungkin terjadi dilakukan oleh KPK sendiri maupun penegak hukum lainnya.

Jika antara advokat dengan penegak hukum lainnya tidak dilakukan penyetaraan perlakuan di depan hukum maka publik akan menduga tindakan KPK merupakan upaya untuk memarjinalkan advokat sebagai penegak hukum. 

Dimana Perjuangan advokat sebagai penegak keadilan dan kebenaran tak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai tindakan yang bertujuan membatasi ruang gerak advokat sudah sering terjadi. Sebut saja salah satu contohnya penetapan Fredrich Yunadi sebagai tersangka oleh KPK.

Tindakan tersebut bertujuan untuk memarjinalkan dan membungkam semangat juang advokat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap kliennya. Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2003 telah menegaskan bahwa status advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri.

Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1): yang dimaksud dengan advokat berstatus sebagai penegak hukum adalah advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Artinya penegasan fungsi advokat sebagai penegak hukum dalam prakteknya dilindungi oleh 2 (dua) macam hak yaitu (1) hak substantif atau kewenangan penuh untuk membela klien, (2) prosedural: kewenangan relatif untuk menggunakan cara-cara yang dibenarkan melakukan pembelaan klien. Pertama hak Substantif. Hak substantif diberikan kepada advokat untuk secara total dan penuh dalam membela kepentingan hukum kliennya.

Hak ini dijalankan oleh advokat dengan hak menyatakan pendapat atau pernyataan untuk membela perkara yang menjadi tanggungjawabnya (pasal 14 UU Advokat), hak untuk tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan, dan hak untuk tidak dapat diidentikan dengan kliennya oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat (pasal 18 ayat 2 UU Advokat).

Mahkamah Konsitusi melalui putusan perkara No. 26/PUU-XI/2013, telah mengabulkan pengujian Pasal 16 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang terkenal sebagai hak imunitas advokat.

Mahkamah menyatakan, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

Itikad baik advokat dalam pengertian disini harus dipandang dalam kacamata klien bukan kacamata penegak hukum seperti KPK, kecuali dalam pelakasanaan profesinya terdapat dugaan korupsi. Selain itu, hak untuk tidak dapat diidentikan dengan kliennya oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat hendak menegaskan bahwa antara klien dengan advokat, berbeda.

Dilansir dari Detik.


Komentar Via Facebook :