Opini Tosca Santoso
Perhutanan Sosial Gagasan Sangat Relevan

Opini Tosca Santoso - Perhutanan Sosial, merupakan gagasan itu sangat relevan, mengingat mayoritas petani kita tuna lahan, intinya ingin mengubah struktur penguasaan lahan di hutan negara. Dengan memberi akses lebih luas kepada petani tuna tanah atau yang kepemilikannya sempit.
Di ujung kekuasaan Soeharto, ide hutan untuk kemasyarakatan mulai muncul. Tetapi tak banyak diwujudkan. Begitu pun di masa awal reformasi, hanya sedikit upaya yang dilakukan pemerintah untuk perhutanan sosial. Perhutanan sosial menyasar mereka, terutama untuk petani yang tinggal di 32 ribu desa dalam kawasan hutan.
Baca Juga : Jokowi Promosikan Indonesia Melalui Kopi
Baru dalam tujuh tahun terakhir kepemimpinan SBY (2007-2014), sekitar 450 ribu hektare lahan hutan dialokasikan untuk petani dalam berbagai program hutan untuk masyarakat. Jadi, Jokowi memang bukan presiden pertama yang membuka hutan untuk masyarakat.
Tetapi keseriusannya tampak berbeda. Sampai akhir 2017, Jokowi membagikan lahan hutan untuk perhutanan sosial sekitar 1,08 juta hektare. Artinya dalam tiga tahun, ia memberi akses petani ke hutan negara, dua kali lipat dari yang dikerjakan SBY dalam 10 tahun. Itu pun tak seberapa. Sebab, Jokowi awalnya menargetkan 12,7 juta ha hutan negara untuk perhutanan sosial.
Tetapi target itu dianggap terlalu ambisius. Sehingga Januari 2018 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan target yang lebih mungkin dicapai sampai 2019, sebanyak 4,3 sampai 5,1 juta hektare hutan negara akan diberikan kepada petani.
Penyerahkan 3.500 Sertifikat untuk Warga Lampung membuat warga tertawa karena mendapatkan hadiah sepeda dari Presiden Jokowi dalam acara pembagian sertifikat di GOR Way Handak, Kalianda, Lampung Selatan, Lampung, Minggu (21/1). Lebih dari sekedar angka. Model perhutanan sosial di masa Jokowi ini punya kelebihan berikut:
Baca Juga : Turunkan BBM atau Turunkan Jokowi!
Tantangan Jokowi adalah bagaimana mengejar target itu. Jangankan yang 12,7 juta hektare, target yang 5 juta ha saja tak mudah dicapai. Kerja ini membutuhkan birokrasi yang gesit, juga pendamping lapangan dalam jumlah besar.
Birokrasi tak berlari sekencang presidennya, dan ini model layanan yang berbeda. Bukan untuk perusahaan besar yang siap segalanya, melainkan untuk kelompok-kelompok tani yang mungkin menginjakkan kaki di Gedung Manggala saja sudah kebingungan.
Pertama pada masa penguasaan lahan oleh petani ditetapkan 35 tahun. Kalau hutannya terawat dengan baik, pemakaian dapat diperpanjang 35 tahun lagi. Jadi total 70 tahun.
Kepastian hukum ini memberi rasa aman bagi petani, sehingga mereka mau menanam pohon jangka panjang. Bukan hanya tanaman semusim. Ini bagus untuk hutan, bagus pula untuk produktivitas dan kesejahteraan petani.
Kedua bagi hasil sangat menguntungkan petani. Untuk tanaman produktif seperti kopi misalnya, petani akan dapat 80 persen keuntungan, dan 20 persen keuntungan disetor ke negara.
Berbeda dengan pola di masa lalu, yang pembagiannya didasarkan pada jumlah produksi, kali ini pembagian dihitung dari keuntungan. Jadi, petani bisa mengamankan lebih dulu biaya produksinya.
Senajutnya ketiga penguasaan tanah secara kolektif, tetapi anggota kelompok tani dapat kartu perhutanan sosial masing-masing. Kartu tersebut dapat digunakan untuk agunan ke bank, bila petani membutuhkan modal kerja selama kebunnya belum menghasilkan.**Liputan6
Komentar Via Facebook :