Tulis Nama Anak Sebenarnya, Wartawan Langgar UU Pers

Tulis Nama Anak Sebenarnya, Wartawan Langgar UU Pers

Okeline Jakarta - Peringatan bagi wartawan beritakan tentang anak yang tersangkut perkara pidana, bisa dipidanana karena melanggar UU Pers, untuk itu wartawan harus benar-benar cermat dalam soal menulis identitas anak.

Hal ini dikatakan Dewan Pers dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI ) yang telah membuat nota kesepahaman (MoU).

Kesepahaman itu ditantangani oleh Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dan Ketua KPAI DR. Susanto, MA di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (12/4/18) kemaren.

Rencana penerapan pasal 19 UU No.11/2012 Tentang Sistem peradilan Pidana Anak (SPPA) untuk menghakimi wartawan yang lalai dalam membuat berita sehingga identitas anak terungkap, mendapat reaksi yang keras dari peserta diskusi.

Penulisan nama sebenarnya itu, disengaja atau tidak karena praktik pengungkapan identitas anak masih kerap terjadi di media cetak dan elektronik negeri ini.

"Kalau hal ini masih dilakukan bukan tidak mungkin wartawan yang lalai akan terancam hukuman pidana penjara 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta," jelas Ketua Dewan Kehormatan PWI DKI Jakarta, Kamsul Hasan.

Retno Lisyarti Komisioner KPAI mengungkap beberapa contoh berita yang dibuat oleh media yang masih lalai dalam memberitakan anak yang tersangkut atau menjadi korban pidana.

Menurut perempuan berhijab ini, identitas anak yang menjadi korban pidana atau terdakwa dalam perkara pidana harus dirahasiakan. "Soalnya ini menyangkut masa depan si anak," katanya dalam sesi diskusi sebelum MoU ditandatangi.

Dijelaskanya, dalam pasal 19 UU No.11/2012 Tentang Sistem peradilan Pidana Anak (SPPA) dikemukakan bahwa (pasal 1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik.

"Pasal 2 Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orangtua, alamat, wajah dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi," ujarnya.

Soalnya Penerapan UU lain selain UU No 40 tentang Pers untuk menyelesaikan perkara yang behubungan dengan kerja dan hasil kerja wartawan bisa menjadi yurisprudensi.

"Nanti lembaga lain bisa juga membuat MoU yang sama dengan Dewan Pers," kata dia. 

Kamsul melanjutkan, ada baiknya sebelum membuat MoU dengan pihak lain seperti yang dilakukan kali ini dengan KPAI, Dewan Pers melakukan audiensi dengan organisasi profesi kewartawanan seperti PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), AJI (Aliansi Jurnalis Independen), IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) dan lain sebagainya. Jadi ketika dilakukan penandatangan MoU sudah menyerap aspirasi wartawan.

Atas kekhawatiran akan penerapan undang-undang lain dalam perkara yang menyangkut insan pers, Yosep Adi Prasetyo menerangkan kalau hal itu tidak akan terjadi. Soalnya selama ini Dewan Pers sudah punya MoU dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan.**


Komentar Via Facebook :