Tindak lanjut temuan BPK

Direktur RS. Jiwa Tampan Ngaku Kekurangan Anggaran, Namun SiLPA Besar. BPK RI Sebut Terjadi Pelangga

Direktur RS. Jiwa Tampan Ngaku Kekurangan Anggaran, Namun SiLPA Besar. BPK RI Sebut Terjadi Pelangga

Okeline Pekanbaru - Dalam LHP BPK RI provinsi Riau tahun 2016  terhadap penggunaan anggaran negara di beberapa OPD di lingkungan Pemprov Riau, berdasarkan temuan, terindikasi adanya penyimpangan anggaran, maupun teknis dalam sistem administrasi dan kepatuhan terhadap peraturan pemerintah.

 

 

 

Atas temuan BPK RI tersebut, yang tertuang dalam LHP BPK RI provinsi Riau, tahun 2016, disampaikan bahwa salah satu OPD di lingkungan Pemprov Riau, yaitu RS.Jiwa Tampan terindikasi melakukan pelanggaran peraturan menteri dalam negeri No.61 Tahun 2007 tentang pedoman teknis pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah terutama pada pasal 57 ayat (1).

Dalam temuan BPK RI tersebut disebut kan bahwa RS Jiwa Tampan Sebagai OPD dengan pola PPK Blud, seharusnya rumah sakit tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan anggaran sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Namun kenyataannya, OPD dengan pola PPK Blud itu dalam pemenuhan kebutuhan anggaran yang berkaitan dengan pelayanan masih membebani kepada belanja APBD, dengan nilai untuk tahun 2016 sebesar Rp. 5 Miliar lebih.

Dalam LHP BPK RI tersebut disebutkan Sejumlah belanja yang terkait dengan pelayanan tersebut seharusnya dibebankan kepada Rencana Bisnis Anggaran ( RBA) Blud, karena biaya tersebut sudah termasuk dalam tarif pelayanan kesehatan yang sudah dipungut dari pengguna layanan, namun kenyataannya tidak lah demikian, melainkan pihak RS Jiwa Tampan masih membutuhkan anggaran dari APBD Riau, untuk belanja yang terkait dengan pelayanan.

Direktur RS Jiwa Tampan memberikan alasan sesuai LHP BPK RI Perwakilan Riau, bahwa pihaknya belum dapat menerapkan pola PPK BLUD dikarenakan perolehan anggaran dari jasa layanan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan atau belum terpenuhi.


Atas temuan dan kejanggalan ini, pihak rumah Sakit telah memberikan pernyataan jawaban kepada BPK RI perwakilan Riau, dengan berbagai cara diantaranya direktur RSJ tampan menyebutkan bahwa tarif pelayanan kesehatan di RS tersebut telah ditetapkan dengan peraturan gubernur Riau No. 6 tahun 2015, dan tarif pelayanan kelas III disebut masih menggunakan tarif layanan sesuai dengan peraturan gubernur Riau No. 1 tahun 2011, serta mengatakan bahwa mayoritas pasien RSJ tampan merupakan pasien kelas III. 

Kejanggalan pun semakin terlihat ketika pernyataan direktur OPD Blud tersebut tak sesuai dengan realisasi anggaran selama tahun anggaran berjalan 2016, dimana justru pada akhir tahun terdapat penambahan SILPA sebesar Rp. 4.000.439.082.

Jika kondisinya sebagaimana dijelaskan oleh pimpinan OPD Blud tersebut, seharusnya tidak terdapat penambahan SILPA Blud pada tahun 2016, bahkan dalam LHP nya BPK RI menyebutkan adanya Sisa Kurang Penggunaan Anggaran ( Sikpa). 

Berdasarkan temuan ini,  pihak BPK RI perwakilan Riau dalam LHP nya menyebutkan hal ini telah melanggar peraturan menteri dalam negeri No. 61 tahun 2007 tentang pedoman teknis pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah terutama pada pasal 57, ayat (1). ( Hal. 23 s/d 25 LHP BPK RI Buku II).

Berdasarkan hasil wawancara reporter Aktual dengan pihak RS Jiwa Tampan, yang diterima oleh Wadir umum, Yenita di ruang kerjanya kepada media mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan klarifikasi dengan pernyataan BPK RI tersebut.

,"Kita telah mendapatkan laporan, bahwa terkait temuan BPK RI itu telah clear, dan yang menyatakan itu langsung Sekda,"katanya.

Menurutnya bahkan sekda Pemprov Riau, secara serentak telah memberitahukan kepada Seluruh OPD di lingkungan Pemprov Riau dan BPK RI Perwakilan Riau terkait klarifikasi atas temuan pihak BPK RI di OPD yang di pimpin nya tersebut.

,"Sudah terselesaikan dengan pertanggungjawaban yang kami lakukan atas temuan BPK itu, yang menyebutkan kelalaian dan kesalahan itu, jadi sudah clear semua,"lanjutnya.

Di lain pihak, terkait dugaan penyimpangan ini, pihak DPRD Riau melalui ketua komisi E, Aherson memberikan pendapatnya agar terkait SiLPA yang disebutkan oleh LHP BPK RI tahun 2016 tersebut hendaknya dilihat pada program apa.

,"Jika SiLPA itu terjadi pada program kegiatan di BLUD sendiri, maka itu perhitungan yang tidak matang, dan perencanaan yang tidak bagus dalam keuangan BLUD, namun SiLPA terjadi akibat tidak terealisasi sebuah program lain diluar BLUD, maka itu bukan pelanggaran,"Sebutnya melalui selulernya.

Sementara disisi lain, berdasarkan analisa seorang aktivis Indonesia Monitoring Development ( IMD ) Riau, Radja Adnan terkait temuan BPK RI, bahwa hal itu menurutnya seharusnya setelah berlalu selama 60 hari dan tidak ada pertanggungjawaban yang sesuai dengan pelanggaran, maka wajib di lakukan upaya hukum.

,"Jika dalam 60 hari temuan kerugian negara tidak dikembalikan ke negara maka Penegak hukum sudah bisa jebloskan ke penjara  para pengguna anggaran,  atau Kuasa Pengguna Anggara dan Penanggung jawab seluruh anggaran , jika tidak berarti telah terjadi kongkalikong dengan penegak hukum pidana," Tulisnya dalam akun WA.

Bahkan jika temuan BPK ternyata memiliki unsur kerugian Negara, maka menurut Adnan, hal itu harus dikembalikan ke kas negara dalam Tempo selama 60 hari.
,"Kalau ada kerugian Negara, harus ada pengembalian paling lambat 60 hari, kalau tidak, berarti Pidana nya harus masuk,"lanjutnya.


 


Komentar Via Facebook :