Tak Tersentuh Perhatian Pemda Setempat
Pak Jokowi Tolong Dong Bedah Rumah Simiskin Warga Aceh Ini

Okeline Aceh - Pak jokowi ini laporan dri aceh, terhadap Syafaruddin Yusuf (40) warga Gampong Simpang Peut, Kecamatan Arongan Lambalek, Kabupaten Aceh Barat, yang terpaksa hidup dirumah tidak layak huni berukuran 3 x 4 meter persegi, layaknya gubuk kecil.
Rumah itu berdiri tepat di tepi jalan nasional lintas Meulaboh- Banda Aceh, dinding rumahnya terbuat dari papan, yang mulai lapuk dimakan usia, tolong bapak instruksikan pejabat aceh untuk bedah rumah simiskin ini.
Di rumah yang sempit itu Syafaruddin tinggal bersama istrinya bernama Sakdiah dan dua orang anaknya yang masih balita. Anak sulung bernama Nadiatul Asra, berusia 5 tahun dan anak bungsu bernama Saibatul Hamdi berusia 2 tahun.
Dalam rumah Syafaruddin tidak melihat perabotan rumah tangga yang mewah maupun alat-alat elektronik seperti televisi, DVD, tape atau radio yang biasa digunakan sebagai hiburan dikala sumpek.
Ironisnya masih ada masyarakat seperti Syafaruddin dikeliingi negeri yang kaya akan hasil alam seperi Aceh, apakah ini kaena pejabat memperkaya diri tampa memperhatikan nasib akar rumput?
Bayangkan lantai rumah yang selayaknya pakai semen, tidak terlihat adapun yang bersemen lantaran cor semennya sudah rusak sehingga banyak berlubang. Prpgram bedah rumah tidak menyentuh pada diri Syafaruddin .
Jangankan perabotan seperti layaknya, kamar tidur di rumah itu saja tidak ada, untuk kebutuhan air sehari-hari ia memanfaatkan sumur dari rumah kosong yang telah rusak karena tidak dihuni dan berada tepat di sebelah rumahnya
Sedangkan untuk buang air besar ia dan keluarganya terpaksa ke semak-semak belakang rumah. Sementara dapur rumah dibuat terpisah di belakang dengan sekat 1,5 x 1,5 meter dengan menggunakan tungku batu dan tanah yang telah dipadatkan.
Jika menangahkan kepala maka akan terlihat lubang-lubang pada atap rumah yang menggunakan seng. Dari lubang itu tampak cahaya matahari dengan mudahnya masuk kedalam. Kala hujan Syafaruddin bersama sang istri akan disibukkan menampung air hujan dari atap rumahnya yang bocor.
Saat Jurnalisme Warga Simpang Peut, mengunjungi rumahnya, terlihat Syafaruddin dengan menggunakan baju kemeja berwarna kecoklatan yang terlihat kumal dan sarung berwarna biru sedang diatas bentangan tenda plastik bewarna merah bata dengan ukuran 2 meter persegi. Anak-anaknya yang masih kecil-kecil, terlihat asyik bermain tanah di pekarangan rumahnya.
Bagi kedua bocah itu bermain tanah dipekarangan rumah menjadi hiburan pengganti dari menonton televisi maupun tool kits (peralatan permainan anak). Meski dengan keterbatasan tersebut mereka tetap terlihat ceria. Sedangkan istrinya Sakdiah sedang menanak nasi didapur sebagai persiapan sarapan pagi sebelum sang suami berangkat bekerja.
"Beginilah kondisi rumah saya. Sebenarnya saya sangat berharap adanya bantuan rumah layak huni untuk saya dan anak-anak saya tinggal,” keluh Safaruddin sambil menyeruput segelas kopi hitam yang telah berada dihadapannya.
Tak jarang, kata dia, jika hujan deras apalagai dimalam hari mereka harus menahan dinginnya udara yang masuk kedalam rumahnya. Tak ada selimut tebal yang bisa melawan dinginnya udara saat malam hari apalagi dalam kondisi hujan.
Bagi Syafaruddin yang sangat kasihan adalah kedua anaknya yang masih balita setiap malam harus merasakan udara dingin yang masuk langsung kedalam rumahnya itu, lewat celah-celah dinding yang bolong.
Untung ada tempat tidur berupa spring bed yang dimiliki keluarga itu sehingga saat tidur tidak langsung diatas lantai. Tempat tidur yang jika dirupiahkan itu paling banyak hanya 1,5 juta dibeli dari hasil menjual mas kawin yang diberikan pada istrinya saat ijab kabul dulunya.
“Tempat tidur ini saya beli dengan menjual mas kawin milik istri saya. Jika tidak saya jual maka kasihan anak-anak saya harus tidur dilantai,” keluhnya.
Menurut pengakuan Syafaruddin dirinya tidak lagi memiliki harta benda yang sangat berharga, memang dirinya memiliki sebidang tanah seluas 10 x 30 meter persegi namun tanah itupun telah ia gadaikan pada orang lain delapan tahun silam senilai 5 juta rupiah.
Untuk makan sehari-hari Syafaruddin tidak bisa memenuhi hidangan yang nikmat bagi istri dan anak-anaknya, selain hanya sayur-sayuran dan tempe sebagai lauk. Untuk bisa mencicip lauk seperti ikan dan daging baginya hanya mimpi lantaran penghasilan yang didapatnya dalam bekerja tidak sebanding dengan harga kebutuhan pokok yang baginya sangat mahal.
Bahkan terkadang untuk lauk pengganti, Safaruddin, hampir saban hari hanya membeli sebungkus mie instan sebagai lauk pengganti untuk dimakan dengan anak dan istrinya.
“Kadang-kadang untuk kawan nasi hanya sebungkus mie instan seharga seribu untuk kami makan bersama. Kadang-kadang dengan garam saja,” ungkapnya.
Sebagai pekerja serabutan, menikmati lauk berupa sebungkus mie instan atau hanya dengan garam telah biasa dirasakan Safaruddin terlebih saat tidak memiliki pekerjaan terlebih pekerjaannya lebih banyak mengupas kelapa milik warga.
“Pekerjaaan untuk mengupas kelapa tidak selalu ada. Kalau ada pemilik kebun kelapa yang panen, ya ada kerjaan. Kalau tidak ada yang terpaksa diam dirumah,” kata Syafaruddin.
Menurut Sudirman saat ini ada sekitar sepuluh unit rumah tidak layak Huni di Gampong yang dipimpinnya itu yang harus di rehab, namun karena keterbatasan anggaran baru bisa dialokasikan untuk lima unit rumah.
Lantaran dana desa yang terbatas, dan juga harus digunakan untuk kebutuhan pembangunan lainnya seperti untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi, insfrastruktur lainnya termasuk menunjang kegiatan pendidikan dan keseharan serta untuk Badan Usaha Milik Gampong.
Untuk pekerjaan mengupas kelapa biasanya satu butirnya, kata Syafaruddin, hanya dihargai dua ratus rupiah. Dalam sehari paling dirinya hanya mampu mengupas seratus lima puluh hingga dua ratus butir dengan pendapatan yang ia peroleh sekitar 30 ribu hingga 40 ribu rupiah saja. Dari penghasilan itu juga harus berhemat-hemat sebagai antisipasi saat tidak ada pekerjaan.
Selain mengupas kelapa pekerjaan lain yang sering dilakukannya adalah menjadi Tenaga Harian Lepas (THL) diperkebunan sawit milik PT Agro Sinergi Nusantara (ASN) dan itu pun ia baru bisa kesana jika ada rekan kerjanya.
“Kadang-kadang saya jadi buruh di PT ASN dengan penghasilan 50 ribu sehari. Itupun untuk bisa kesana Kalau ada teman yang ajak kesana saya baru bisa kesana, lantaran saya tidak punya honda (sepeda motor) untuk kesana jadi harus numpang-numpang,” ucapnya.
Namun beban yang dialami Syafaruddin sedikit teringankan dengan adanya bantuan Beras Sejahtera (Rastra), serta bantuan dari Program Keluarga Harapan (PKH) dan itu pun baru ia peroleh tahun ini dengan jumlah bantuan yang ia terima 500 ratus ribu rupiah.
“Kalau listrik ini saya peroleh dari program subsidi dari pemerintah. Yang memang semua sudah ditanggung pemerintah,” sebutnya.
Menurutnya, rumah yang ia tempati itu juga bukan rumah pribadinya namun rumah Almarhum adiknya Marzuki. Dirinya menempati rumah tersebut karena telah lama kosong setelah adik kandungnya Marzuki beserta istrinya Rasyidah meninggal dunia.
“Rumah ini pun bukan rumah saya tai rumah almarhum adik saya marzuki, yang telah meninggal bersama istrinya. Anak-anaknya ada tiga orang tapi saat ini tinggal bersama nenek mereka. Jadi saya bisa saja pindah jika anak-anak alamarhum adik saya nanti mengambil kembali rumah ini,” ucapnya.
Syafaruddin juga merasa sedih karena dengan kondisinya kini, ia belum bisa mengantarkan anak sulungnya yang telah berusia 5 tahun ke Taman Kanak-Kanak (TK) karena tidak bisa memberikan uang saku serta bekal makan anaknya di sekolah. Padahal ia ingin sekali anak sulungnya Nadiatul Asra bisa membaca paling tidak menghafal huruf dan angka dan dapat melanjutkan kejenjang pendidikan SD (Sekolah Dasar) kedepannya.
Dengan kondisi yang dialaminya itu, ia sangat berharap selain ada bantuan rumah, juga ada bantuan modal usaha atau pekerjaan tetap yang dapat menunjang kesejahteraan rumah tangganya.
Menanggapi persoalan Syafaruddin, Keuchik Simpang Peut, Sudirman U, mengatakan untuk bantuan rumah bagi Syafaruddin harus ditangani langsung oleh pemerintah Kabupaten atau Provinsi melalui lembaga baitul mal, lantaran rumah yang ditempati Syafaruddin merupakan rumah milik orang lain.
“Kalau dari anggaran desa kita hanya memiliki anggaran untuk rehab rumah dan itupun tahun ini hanya 5 unit yang bisa kita rehap sesua dengan Peraturan Bupati Tentang Pengelolaan Dana Desa untuk tahun 2018,”
“ Sedangkan Syafaruddin tinggal dirumah dan lahan orang lain jadi perlu dibangun rumah sendiri dengan menyediakan tanah khusus untuknya,” Ucap Sudirman.**
Lipuan Asna Dewi dan Dahlan Ibrahim |Jurnalis Warga Simpang Peut
Komentar Via Facebook :