Riau - Kepri jadi

Riau - Kepri jadi

Pekanbaru -  Selain dipelajari anak sekolah, pantun Melayu diajukan menjadi warisan budaya takbenda ke UNESCO.

"Untuk di Provinsi Riau, pantun Melayu sudah lama ada, begitu juga di Kepulauan Riau (Kepri)," kata H Darmwi Aris SE, Ketua Lembaga Melayu Riau (LMR), Minggu (16/4/2017).

Menurutnya dua daerah ini boleh dibilang sebagai daerah 'endemik' Pantun Melayu. Sebelumnya, dua daerah juga sudah menyiapkan serangkaian strategi mencegah produk budaya itu hilang dari peradaban.

Darmawi pun mengaku, selama ini Pantun Melayu sudah di kembangkan dan diajarkan disetiap sekolah, "ini slah satu upaya untuk pelestaiannya," ujarnya.

Seperti disebutkan Kepala Dinas Kebudayaan Riau Yoserizal Zen didepan wartawan kemarin mengakui adanya pengakuan tentang Pantun Melayu di tingkat internasional agar tetap lestari.

�Kami mengajukan pantun, pertama, di samping pantun merupakan warisan sejak dahulu kala, kami khawatirkan juga penuturnya berkurang dan punah," kata Yoserizal 

Menurutnya, kalau sudah jadi warisan dunia, memory of the world, tentu menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga, merawat, sampai mengembangkannya. Pengajuan menjadi warisan budaya bukanlah langkah pertama Riau dan Kepri mengamankan warisan leluhur mereka, "ada beberapa upaya yang telah dilakukan sebelumnya," urainya.

Kedua provinsi juga telah memasukkan pantun dalam kurikulum pendidikan melalui muatan lokal Budaya Melayu. Namun semua itu dirasa belum cukup. Dia menilai pentingnya menekankan pengakuan internasional yang juga dapat mendukung tujuan Riau menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada 2020.

Pelestarian Pantun Melayu 

Sebagai daerah dengan kebiasaan berpantun yang mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, Yoserizal mengakui produk kebudayaan lisan itu pun masih menghadapi serangkaian ancaman.

Yoserizal mengakui jumlah maestro penutur pantun atau pemantun dari tahun ke tahun tidak sebanding dengan banyaknya penduduk yang terus bertambah. Dia berpendapat ada beberapa hal menyebabkan terhambatnya perkembangan pantun dan jumlah penutur.

Beberapa hal itu adalah kurangnya pendokumentasian, minimnya sosialisasi, serta globalisasi. Pengaruh budaya luar dinilai membuat tradisi daerah yang menggunakan pantun semakin jarang dilakukan masyarakat.

"Kami akan terus menggiatkan budaya berpantun di tanah Melayu melalui berbagai program mulai dari festival, perlombaan, hingga penyambutan tamu di maskapai penerbangan dari dan ke Riau yang menggunakan pantun," kata Yoserizal.

Di sisi lain, menurut Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Riau Al Azhar mengatakan ada faktor lain yang mengancam keberadaan pantun, yaitu kondisi alam. Pasalnya, banyak tradisi lisan yang bergantung pada kondisi ekologi dan menjadikan lingkungan sebagai sumber inspirasi.

Pantun Melayu secara pakem memang mengambil materi berupa pencitraan alam sebagai bahan sampiran sebelum memasuki isi atau maksud pantun. Al Azhar berharap dengan masuknya pantun sebagai nominasi warisan dunia yang dijadwalkan dinilai pada 2018, pemerintah dapat melindungi pantun yang sudah hampir punah dengan menurunkan angka kerusakan alam.

Dengan melestarikan kondisi alam, Al Azhar menilai secara tidak langsung dapat mencegah pantun hilang dari peradaban masyarakat Melayu. �Riau ini kan lingkungannya besar dan deforestasi berlangsung amat jelas. Padahal sebagian besar dari tradisi lisan masyarakat Melayu itu amat bergantung pada kelestarian alam," kata Al Azhar. (s/***)


Redaksi

Komentar Via Facebook :