Laporan Terbaru PBB Menyebutkan Hubungan Produk Hewani dengan Wabah di Masa Depan

Laporan Terbaru PBB Menyebutkan Hubungan Produk Hewani dengan Wabah di Masa Depan

Jakarta - Sedikit info tentang Act for Farmed Animals adalah kampanye bersama yang dilakukan oleh Organisasi Non-profit Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal untuk mengurangi penderitaan hewan ternak di Indonesia dan mendorong pemilihan makanan yang lebih bijak dan berwelas asih.

Dalam laporan terbarunya Act for Farmed Animals, merilis, "Mencegah wabah selanjutnya: Penyakit zoonosis dan bagaimana memutus rantai penularan" yang dirilis kemarin, para ahli Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) memperingatkan faktor seperti intensifikasi pertanian dan peternakan, peningkatan permintaan protein hewani, serta deforestasi dan perubahan iklim dapat menyebabkan munculnya wabah baru yang berasal dari hewan sebelum ditularkan ke manusia, seperti kasus yang terjadi pada virus corona.

“Faktor-faktor tersebut merusak habitat alami dan memperlihatkan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia ke spesies lain, yang membuat manusia semakin dekat dengan sumber penyakit. Jika telah ditularkan pada manusia, penyakit tersebut dapat menyebar cepat dalam dunia yang saling terhubung saat ini, seperti yang kita lihat terjadi pada kasus Covid-19”, ungkap Direktur Eksekutif UNEP, Inger Andersen.

Laporan tersebut menjelaskan bagaimana hewan seperti sapi, babi, dan ayam, sering dibesarkan dalam kondisi yang “tidak ideal” dalam level produksi yang tinggi serta cenderung serupa secara genetik, sehingga sangat rentan mengalami infeksi dibandingkan dalam populasi yang lebih beragam. 

Lebih parahnya lagi, mayoritas hewan ternak saat ini dibesarkan dalam peternakan pabrikasi, fasilitas yang dirancang untuk mengurung ribuan hewan dalam satu tempat dan tidak memberi ruang untuk adanya jarak fisik antar satu hewan dengan yang lainya.

Di banyak negara berkembang, seperti Indonesia, UNEP menyebutkan bahwa terdapat peningkatan tajam terhadap konsumsi produk hewani, yang membuat produksi daging meningkat sebesar 260% dan telur 360% secara global dalam 50 tahun terakhir. Tidak pula
mengagetkan bahwa, menurut laporan tersebut.

"Sejak tahun 1940, usaha dalam melakukan intensifikasi pertanian dan peternakan seperti, waduk, proyek irigasi, dan peternakan pabrikasi telah dikaitkan dengan lebih dari 25 persen dari semua penyakit–serta lebih dari 50 persen dari penyakit zoonosis–menular yang telah muncul ke manusia."

 

UNEP juga menekankan adanya faktor resiko tambahan di negara berkembang, karena seringkali produksi hewan ternak berada di dekat kota, praktik biosekuriti dan peternakan yang dilakukan sering tidak memadai, limbah peternakan sering tidak dikelola dengan baik, juga obat antimikroba yang sering digunakan untuk menjadi tameng kondisi atau praktik yang buruk.

Kerusakan lingkungan dan peternakan hewan liar juga salah satu faktor resiko

Selain itu, industri peternakan juga menjadi salah satu penyebab utama rusaknya lingkungan. "Sekitar sepertiga lahan pertanian digunakan untuk pakan hewan. Di beberapa negara hal ini menjadi faktor yang menyebabkan deforestasi," ungkap UNEP. 

Deforestasi memainkan peran utama yang memperparah perubahan iklim, satu faktor yang meningkatkan resiko wabah. Pengrusakan hutan juga diasosiasikan dengan peningkatan penyakit menular seperti demam berdarah, malaria, dan penyakit penyakit kuning.

Laporan tersebut juga melihat fakta bahwa bukan hanya peningkatan permintaan daging tradisional saja yang tumbuh, namun juga permintaan daging untuk hewan liar, yang menyebabkan spesies baru diternakkan.

Hal ini menjadi salah satu faktor yang menjelaskan munculnya SARS-CoV dan SARS-COV-2 di Asia Timur serta, penyakit Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) yang ditularkan melalui unta ke manusia, yang mengalami transisi produksi unta dari ekstensif ke sistem produksi intensif. Di mana awal mulanya diidentifikasi terjadi di Arab Saudi, yang sekarang telah menyebar ke 27 negara.

 

LSM meminta pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan

Hasil temuan PBB, sangat didukung oleh Act for Farmed Animals, LSM yang mengadvokasi
pola makan berbasis nabati. "Kita tentunya akan hidup lebih berkelanjutan dan aman jika bukan
karena protein hewani," ungkap Manajer Kampanye di Sinergia Animal, Dian Pitaloka.

"Kita tidak bisa lagi bergantung sepenuhnya pada sistem pangan yang mengancam ekosistem dan
kesehatan kita," ulas Dian.

LSM Act for Farmed Animals meluncurkan kampanye "Sebelum Terlambat" yang meminta pemerintah Indonesia untuk mengambil aksi dalam mencegah wabah di masa depan dengan menghentikan deforestasi, menyetop penggunaan tidak bertanggung jawab obat-obatan yang digunakan di peternakan hewan dan mengubah sistem pangan yang tidak terlalu bergantung
pada operasi intensif peternakan. Klik di sini untuk melihatnya.

Hal yang sama dilakukan oleh UNEP dengan pendekatan “one health”, sebagai metode yang menekankan pada pemahaman hubungan yang kompleks antara lingkungan, keanekaragaman hayati, masyarakat, dan penyakit manusia dengan menyatukan kesehatan publik, serta ilmu
kedokteran hewan dan juga lingkungan. Hal tersebut penting, menurut PBB, bukan hanya untuk merespon wabah masa depan juga untuk mencegah wabah baru.**rls


Dion Tri Septian

Komentar Via Facebook :