Paparkan Biaya Calon Kepala Daerah Capai Rp 100 M, KPK Beri Solusi

Jakarta - Hasil kajian Litbang Kemendagri dikatakan untuk menjadi bupati atau wali kota dibutuhkan biaya yang besar.
Padahal, sejak tahun 2003 saat dimana pemilihan secara langsung pertama kali digelar banyak asumsi yang berkembang di masyarakat terkait dengan tingginya biaya untuk menjadi kepala daerah.
Spekulasi pun bermunculan, sebagian menganggap hal itu wajar, mengingat kepala daerah merupakan jabatan prestisius. Sebagian lagi berpandangan bahwa dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan memberi akibat secara langsung terhadap kinerja kepala daerah itu sendiri.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, dalam webinar pembekalan pilkada berintegritas Provinsi Sumatera Barat, Bali, dan Papua dalam kanal YouTube KPK, Kamis (26/11/2020) mengungkap data calon kepala daerah yang mencalonkan diri di pilkada berbiaya sangat tinggi.
Dia merinci untuk menjadi bupati atau wali kota dibutuhkan biaya berkisar Rp 20-30 miliar, sedangkan untuk gubernur diperkirakan Rp 20-100 miliar.
Ia mengatakan pencalonan pilkada yang berbiaya tinggi ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan."Selain itu, fakta bahwa biaya kampanye yang dikelurakan lebih tinggi daripada yang dilaporkan dalam Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) memang terjadi,"ungkapnya.
Baca Juga : Pajero Sport Warna Putih Merangsek Mabes Polri
"Nanti kita lihat setelah ini ada periode untuk pelaporan LHKPN, dan kemudian pengeluaran biaya kampanye aktual itu ternyata lebih tinggi dari yang dilaporkan di LPPDK," ujar Lili.
Biaya-biaya tinggi pada pilkada muncul sejak pendekatan terhadap partai pengusung dan pendukung, baiaya sosialisasi, biaya pengamanan atribut kampanye, biaya operasional tim pemenangan, pendanaan saksi di tiap TPS. Termasuk menurutnya setiap calon juga menganggarkan biaya berperkara di pengadilan.
Selain itu, KPK menyebut ada potensi politik balas budi akibat ijon bagi calon kepala daerah terpilih yang jika pencalonannya didanai sponsor. Kata Lili justru ada sponsor yang mengharapkan imbalan ketika calon kepala daerah yang didanainya terpilih.
Istilah yang populer "tidak ada makan siang yang gratis," sebut Lili. Justru hal ini mengkhawatirkan bagaimana seorang kepala daerah yang terpilih akan memberi balas jasa kepada sejumlah orang," tambahnya.
Dalam hal menerima sumbangan untuk kendaraan pilkada dan sumbangan yang dilaporkan dalam LPSDK itu tidak sesuai dengan apa yang diterima olehnya," imbuhnya.
salah satu solusi untuk menghindari Pilkada yang berbiaya tinggi, menurut KPK adalah ke depan dalam APBN harus ada anggaran dana parpol yang lebih besar.
"Setidaknya periode yang akan datang ekonomi makin stabil, keuangan negara tambah baik, sehingga kemudian partai politik bisa mendapatkan pendanaan lebih banyak agar tidak membebani para calon kepala daerah yang akan maju," ujar Lili.**
Komentar Via Facebook :